Menangkarkan Cucak Rawa dan Jalak Bali, Modal Usaha Pasti Kembali
September 1st, 2012
admin
Kabar
tentang Jalak Bali (Lencopsar rothcshildi ) yang berstatus sebagai
Satwa Dilindungi, dan Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus) yang berstatus
rentan (vulnerable) memang belum menunjukkan perkembangan positif.
Khusus Jalak Bali, bahkan isu yang berkembang di habitat aslinya ( Taman
Nasional Bali Barat), populasi spesies burung ini, hanya tinggal 180
ekor saja.
Proses penangkapan, perburuan, sampai deforestasi, dituding menjadi
biang punahnya Icon Pulau Bali ini. Setali tiga uang dengan cucak rawa,
yang tinggal selangkah lagi, jika kondisinya makin memburuk, bakal masuk
ke kondisi Satwa dilindungi.
Dalam dimensi yang hampir sama, khususnya bagi Burung Cucak Rawa,
menguatkan tekad Mochtar Djawadi (Penangkar Burung Cucak Rawa dan Jalak
Bali), di Medio 2000-an memulai usaha penangkaran Burung Cucak Rawanya,
jauh sebelum dia juga mengupayakan penangkaran Jalak Bali, setahun yang
lalu, di rumahnya dikawasan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.
Hanya saja, idenya tersebut berangkat dari kian sulit menjumpai
burung tersebut di Pasar Burung Pramuka. “Tahun 80-an mungkin masih bisa
kita jumpai ratusan burung Cucak Rawa diperdagangkan. Sementara
sekarang, mungkin tidak sampai puluhan,” buka pemilik BK Bird Farm ini,
kepada beritaburung.com.
Bikin Penangkaran Menguntungkan
Karena semakin sulitnya menemukan dua jenis burung ini di pasaran,
ditambah makin tingginya jumlah permintaan, bikin harga maupun
keuntungan yang diperoleh jika berhasil menangkarkannya jadi
menggiurkan. Ini menjadi pertimbangan baginya untuk memulai. Sebagai
gambaran, di pasaran sepasang burung Cucak Rawa, umur satu bulan (bisa
makan sendiri), harganya bisa mencapai Rp 5 juta/pasang.
Sementara, Burung Jalak Bali (bersertifikat), biasa “dipinjamkannya”
ke pembeli, dengan harga Rp 12,5 Juta/pasang umur seminggu. Sebagai
hitungan kasar, perawatan burung baik Jalak Bali maupun Cucak Rawa,
cost sepasang/ perbulannya hanya, Rp 100.000. Sehingga jika seorang
pemula memiliki 10 pasang burung, dan lantas beranak sepasang, sudah
mampu menutup cost ke sepuluh pasang burung tersebut per bulannya.
Memang, Jalak Bali paling banyak dicari. Harganya pun relatif lebih
mahal. Hanya memang kendalanya, bagi burung ini mesti memiliki
sertifikat. “Semacam BPKB lah,” urai lelaki kelahiran tahun 1955 ini.
Cucak Rawa Lebih Sulit Dari Jalak Bali
Berternak Cucak Rawa, penangananannya menurut Mochtar jauh lebih
sulit, ketimbang menangkarkan Jalak Bali. Kecuali hanya induknya yang
lebih mudah ditemui ketimbang Jalak Bali. Jenis Cucak Rawa ternyata
lebih sensitif, ketimbang Jalak Bali. Sensitifitasnya bahkan, membuat
penangkarnya mesti membedakan antara kandang Cucak Rawa dengan Jalak
Bali.
Pada kandang Cucak Rawa, kondisi mesti tertutup. Berbeda dengan jalak
Bali. Namun, kendati kandang Cucak Rawa mesti tertutup, tetap harus
sehat baik ventilasi maupun kecukupan sinar matahari (terkena sinar
matahari langsung selama dua jam sehari). Di musim bertelur misalnya,
sensitivitas Cucak Rawa bisa bertambah. Burung ini bisa menunda waktu
bertelurnya beberapa bulan, jika sempat kaget atau stress sebentar saja.
“Melihat tikus lewat saja, bisa membuat burung ini stress,” urainya.
Dia juga mengaku menambahkan beberapa tetumbuhan di dalam kandang
penangkaran Cucak Rawa, agar situasi alami juga tercipta. Selain itu,
kemudahan membersihkannya tetap diutamakan demi menjaga privasi burung.
Potensi Pasar Memang Besar
Apa yang disampaikan oleh Mochtar sangat beralasan. Dari berbagai
literature misalnya, burung yang banyak hidup di kawasan hutan sekunder,
berbatasan dengan sungai atau rawa-rawa ini, sering kali hanya
terdengar suara khasnya, mengoceh di balik rimbunnya pepohonan rawa,
atau sungai Pulau Jawa dan Sumatera. Suaranya sangat khas, nyaring,
konstan dan bertalu-talu.
Saat ini, order dari pasaran, khusus Cucak Rawa, sebulannya bisa
mencapai ratusan ekor. Sementara, kemampuan produksinya sebulan hanya
mencapai puluhan ekor. Diakuinya, disamping membeli dalam jumlah
sepasang, karena kebanyakan bakal mencoba menernakkannya, pihaknya juga
menerapkan daftar tunggu (waiting list) bagi pembeli.
Kebanyakan orang lebih suka mencari burung cucak rawa ke
penangkarnya. Karena akan memperoleh informasi mengenai asal-usul, cara
berternak, sekaligus bisa berkonsultasi membesarkan burung tersebut.
Berternak, hanya perlu ketekunan dan mesti diurus secara full time. Oleh
karena itu, peran dari keluarga memang amat penting, keluarga mesti
juga membantu kegiatan berternak.
Dicontohkannya, agar tidak terpengaruh dengan mood dari indukan, baik
Jalak Bali maupun Cucak Rawa, saat umur lima hari anakannya mesti
dimasukkan ke inkubator. Pada fase ini, pentingnya peran dan dukungan
keluarga, karena setiap jam, semenjak pukul 6 pagi, hingga pukul 8
malam, seekor anakan mesti terus diberi makan. Makanan bagi indukan,
bisa berupa kroto atau jangkrik.
Demikian pula bagi anakan, pemberian pakan jangkrik tidak bisa
sembarangan, mesti dipotong dan diambil bagian lunak tubuhnya saja.
Kroto, mesti disajikan dalam kondisi segar. Supaya layak diberikan maka
dia memesan kroto langsung kepada para pencarinya. Sebab, jika
mengandalkan supplier, biasanya kroto sudah tidak lagi segar.
Dalam menjalankan penangkarannya, Mochtar dibantu oleh dua orang.
Diakuinya, untuk pekerjaan tidaklah berat. “Hanya perlu ketelatenan,
kok rasanya itu yang sulit,” kata PNS yang hobi berternak apa saja ini.
Topang Kebutuhan Keluarga
Dari dulu hingga kini, sudah ribuan anakan Cucak Rawa yang sudah
terjual. Bahkan, ada yang dari satu pasang indukan sudah lebih 100kali
bertelur. “Jadi kalau sekarang jumlah kira-kira yang sudah beredar,
cucak rawa mendekati 1000 ekor,” kata Mochtar. Baik jalak bali maupun
Cucak rawa, setahun bisa bertelur hingga 12 kali. Biasanya, Cucak Rawa
sekali bertelur tidak lebih dari dua butir. Sementara Jalak Bali,
sekali bertelur tidak lebih dari tiga butir.
Sejauh ini, hasil yang diperoleh PNS yang tengah memasuki masa
pensiun ini dari hasil menangkarkan Cucak Rawa dan Jalak Bali, bisa
menyekolahkan tiga orang anaknya di perguruan tinggi. Dua orang
diantaranya sudah menjadi sarjana.
Disamping itu, penangkaran diakuinya sudah bisa menunjang kebutuhan
perekonomian sehari-harinya. Obsesi ke depannya, ingin agar Burung
Jalak Bali maupun Cucak Rawa jadi tuan rumah di negeri sendiri. “Saya
ingin, anak cucu kita nanti bisa melihat jalak bali, yang jadi kebanggan
bangsa Indonesia,”urai lelaki asal Jogja ini.
Dia juga berharap agar Jalak Bali bisa ditangkarkan secara massal,
masyarakat diharapkannya bisa distimulan untuk menangkarkannya, dia
yakin nama Indonesia bisa terangkat dengan Jalak Bali dan Cucak Rawa.
Obsesi lainnya, Mochtar mengaku ingin pergi ke tanah suci, berbekal
penghasilannya dari menangkarkan burung. “Kalau bisa ingin sesegera
mungkin berangkat haji dari burung,” urainya.
Kiat Sukses
Dia juga menyelipkan kiat suksesnya jadi penangkar burung, “berikan
yang dapat diberikan kepada burung, pasti burung akan memberi yang kita
inginkan,” urainya. Disamping itu, mesti bisa meyakinkan pada keluarga
bahwa menangkar adalah pekerjaan mulia yang bakal memberi sumbangan
positif bagi kehidupan keluarga, sehingga konsistensi pemeliharaan
burung pun bisa tetap terjaga.
Cerita sulit yang pernah dialami, ternyata merawat anak burung hasil
tetasan sangat sulit, karena kondisinya masih sangat halus dan lemah.
Kendati demikian, asyiknya pembeli sudah mengantri, bahkan biasanya
sudah membayar dimuka. Namun kendati sudah dibayar, terkadang ternyata
anakannya mati. “Ini yang tidak enak,” imbuhnya. (A5)
Anakan Jalak Bali umur beberapa minggu
Jalak Bali muda